sumber gambar |
Killeur Calculateur, unit post-punk asal Malaysia ini membuat sebuah rangkaian tur di Indonesia dalam rangka mempromosikan album yang dirilis pada 30 Oktober 2014 lalu, yaitu Book Of Flags. Pada hari Rabu (13/5/15) lalu saya berkesempatan untuk ngobrol-ngobrol dengan mereka (Alijo, Zamir, Rafique, dan Smek) sekaligus menyaksikan performa mereka malam itu. Terus terang saya tidak banyak mengikuti perkembangan band punk dari Malaysia/Singapore, juga gaya musik yang mereka mainkan, dan aksi mereka pada malam itu benar-benar menghempas dimensi pendengaran saya juga menjawab semua pertanyaan saya. Ini transkrip rekaman perbincangan kami malam itu, kami berbicara mulai dari hal klise dari sebuah band punk yang kemudian menyambung pada pembicaraan tentang lagu baru mereka yang menggunakan bahasa Melayu. Selamat membaca.
Hello
Killeur Calculateur, apa jenis musik yang kalian mainkan?
Generally we just call it post-punk, we try to develop sounds from our influences
like Fugazi, My Disco, and At The Drive-In. But, basically it’s just being punk i guess.
Apa
kalian menemukan band yang gaya
musiknya sama dengan kalian?
Yes, of course. We’ve been lucky enough to play with a band form Bandung,
Wreck. Sebuah band keren yang kami rasa memiliki kesamaan dengan
kami. Juga Vague dari Jakarta.
Hal
apa saja yang menginspirasi kalian dalam penulisan lirik?
Dari apa yang terjadi di hidup kami. Kami gabungkan apa yang masing-masing dari kami alami. Biasanya kita semua punya pengalaman masing-masing dari suatu kejadian. Lalu
kita saling sharing atas isu tersebut. Dan dari situ kita dapat ide
untuk lirik kita.
Apa
kalian pernah merasa kesulitan dalam mencari gig untuk kalian sendiri?
Tidak begitu sulit karena sebelumnya kami berasal dari band yang
berbeda. Jadi sudah ada teman, sudah ada networking. Waktu Killer
Calculateur baru terbentuk, kami merekam dahulu materi-materi kami, setelah
itu ternyata banyak yang mendengarkan dan menyukainya, setelah itu baru ada tawaran kami untuk main di
beberapa acara. Adalah sebuah kontribusi kepada scene ketika sebuah band
mengeluaran rilisan.
Apa
yang kalian dapatkan atau nikmati dari kegiatan tur seperti ini?
Kami dapat banyak pelajaran, tambah pengalaman, dapat kawan baru, jumpa kawan lama.
Sebelumnya kami sudah pernah ke Indonesia, bersama Off Minor, kami tur ke Jakarta,
Solo, dan Bandung.
Saya
mendapatkan kabar kalau kalian akan memakai bahasa ‘Melayu’ dalam lagu baru
kalian? Apa kalian tidak kesulitan tidak merasa kesulitan mengaplikasikan
bahasa ‘Melayu’ dengan musik yang cenderung ‘kebarat-baratan’ ini?
Hal tersebut adalah sebuah tantangan yang baik untuk kami. Kita sadar bahwa punk dilahirkan di Inggris
dan di Amerika, dan mereka menggunakan bahasa ibu mereka. Jadi ketika punk
mulai diadaptasi di tempat lain di dunia, mereka pasti memulainya dengan menggunakan bahasa Inggris.
Pada level selanjutnya, alangkah baiknya jika kita memakai bahasa kita sendiri
agar lebih mudah ketika isi dari lagu tersebut dibagikan pada orang lain. Sebab, isu-isu yang
diutarakan sebenarnya lebih berguna untuk orang-orang dari tempat kita sendiri. Kami terinspirasi dari Wreck yang menulis lirik dengan bahasa ibu mereka,
setelah itu kami memutuskan untuk juga menulis menggunakan bahasa ibu. Sebagai
contoh, pada satu level kebanyakan pendengar musik punk adalah laki-laki,
karena terdapat suatu appeal bahwa punk-rock itu lebih menarik di kalangan lelaki.
Barangkali kalau diterapkan dengan bahasa ibu mungkin bisa menjangkau kalangan
lebih luas (kalangan perempuan). Dan supaya Ibu kita sendiri kita juga bisa mengerti apa yang sedang kita
lakukan hahaha.
Apa
kalian menikmati musik pop Melayu?
Sampai sekarang kita masih menikmati musik-musik pop melayu. Semalam kami baru
memborong kaset musik-musik keroncong.
Wow,
rekaman musik apa saja yang kalian beli semalam?
Smek
: Aku beli bengawan solo yang asli, dan juga kompilasi The Best Of Kerongcong
yang dirilis oleh Lokananta. Selepas jamming, aku suka dengarkan musik Keroncong.
Rafique
: Aku hanya beli record-record lama yang perlu dicuci dahulu, cuma coba-coba saja.
Zamir:
Aku beli koleksi hits Keroncong, dalam bentuk kaset.
Alijo
: Aku beli kompliasi keroncong yang berasal dari tahun 60-an. Keroncong pun
berasal dari Portugis kan? Ketika dibahasakan dengan bahasa ibu sendiri, cocok
juga kan? Makanya kenapa punk tidak bisa begitu juga? Itu layak dicoba hahaha.
Rata-rata anak di Malaysia juga punya taste yang luas, kalau bukuam
musik melayu, mereka mendengarkan musik India atau Pakistan.
Ada
pesan yang ingin disampaikan kepada teman-teman pembaca dari Indonesia?
Alijo : Terima kasih Indonesia sudah memberi pengalaman yang tak bisa dilupakan
buat kami. Kami merasa bangga, kita hanya bersebelahan tapi pengalamann-pengalamannya sungguh
berbeda. Sangat kaya negeri Indonesia ini.
Smek : Terimakasih buat teman-teman dari Pekanbaru, Bleakfuture dari Padang, Deden dari Alternaive, Necros Division,
Husted Youth, Yudhis dari Vague, Udin dan teman-teman Otak Kotor, teman-teman Solo, dan
terima kasih buat kamu juga sudah wawancara kami, sampai jumpa lagi, Insya
Allah.
Zamir : Stay curious Indonesia!